Minggu, 09 Juni 2013

Perangkat dan Framing Entman

Framing Entnam
            Menurut Entnam, meskipun analisis framing dipakai dalam berbagai bidang studi yang beragam, satu faktor yang menghubungkannya adalah bagaimana teks komunikasi yang disajikan, bagaimana representasi yang ditampilkan secara menonjol mempengaruhi khalayak. Konsep framing Entnam digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. (Eriyanto,2002:186)
            Framing memberikan tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan: membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diinget khalayak. Informasi yang menonjol lebih diterima oleh khalayak.
         Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam. Menempatkan aspek informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dibungkam dengan aspek budaya yang akrab di benak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide atau informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan bagaimana teks berita tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak. (Eriyanto, 2002:186)
Tahap awal framing tidak dilakukan oleh media. Manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan realitas yang terjadi di sekitarnya berdasarkan frame of reference dan field of experience yang dimilikinya.Eriyanto (2005) menyatakan, ada empat hal yang dilakukan manusia ketika menyusun bingkai konstruksi realitasnya sendiri, yaitu:
1.    Simplifikasi,manusia cenderung memandang segala peristiwa melalui kerangka berpikir yang sederhana, sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya. Seiring dengan bertambahnya usia, pengetahuan, dan pengalaman, manusia akan memandang dunia secara lebih beragam. Namun tetap saja proses pemahaman realitas akan dilakukan secara sederhana.
2.    Klasifikasi, manusia menyadari bahwa dunia terdiri dari berbagai hal, sehingga secara psikologis manusia akan memisahkan hal-hal tersebut ke dalam beberapa kategori untuk memudahkan proses pemahaman. Manusia melekatkan ciri-ciri tertentu pada sebuah kategori tertentu, sehingga segala peristiwa yang terjadi dapat terlihat perbedaan-perbedaannya.
3.  Generalisasi, klasifikasi membantu manusia melihat ciri-ciri peristiwa atau individu. Generalisasi merupakan kelanjutan dari proses tersebut, yang pada akhirnya membatasi ciri-ciri yang berdekatan atau mirip pada ciri-ciri yang didapat pada klasifikasi. Hal ini dapat menghasilkan prasangka.
4.    Asosiasi, suatu peristiwa tidak hanya diidentifikasi atau dipahami, tetapi selanjutnya dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain. Keragaman dunia dianggap memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
            Dalam Penelitian ini menggunakan analisis Robert N. Entman karena konsep Entman dipraktikkan dalam studi kasus pemberitaan media dan digunakan pula pada praktik jurnalistik, melihat bagaimana frame mempengaruhi kerja wartawan dan bagaimana wartawan membuat satu informasi menjadi lebih penting dan menonjol dibanding dengan cara yang lain. Analisis terhadap teks berita bukan merupakan langkah akhir dari penelitian yang akan dilakukan. Namun ingin diketahui sekilas, bagaimana kecenderungan atau perbedaan setiap media (portal media online detik.com dan tempo.co) dalam memproduksi informasi.

Perangkat Framing Entman
            Analisis penelitian ini menggunakan model Robert N. Entman yang mengopersionalkan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: define problems (pendefinisian masalah), diagnose causes (sumber masalah), make a moral judgement (keputusan), dan treatment recommendation (menekankan penyelesaian).
Skema Framing Robert N. Entman
Define Problems
(Pendefinisian masalah)
Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Sebagai masalah apa?
Diagnose causes
(Memperkirakan masalah atau sumber masalah)
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?
Make moral judgement
(Membuat keputusan moral)
Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?
Treatment recommendation (Menekankan penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?
Sumber: Eriyanto. Konstruksi, ideologi, dan politik media, 2004 : 188

1.    Define Problems (Pendefinisian masalah) adalah elemen yang merupakan master frame atau bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan ketika ada masala atau peristiwa, bagaiman peristiwa atau isu tersebut dapat dipahami. Karena peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda.
2.   Diagnose Causes (memperkirakan masalah atau sumber masalah) merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who), bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah, karena itu masalah yang dipahami berbeda.
3.  Make Moral Judgement (membuat keputusan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.
4.   Treatment recommendation (menekankan penyelesaian) dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan, jalan yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa dipandang sebagai penyebab masalah. (Eriyanto, 2002:191)

            Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
            Framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana-penempatkan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, generalisasi, dan lain-lain. Semua aspek itu diakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. (Eriyanto,2002:187)
            Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. (Eriyanto, 2002:188)

            Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karena, frame dapat dideteksi dan diselidiki dari kata, citra dan gambar tertentu yang memberikan makna dari teks berita. Kosa kata dan gambar itu ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol dibanding bagian lain dalam teks. Itu dilakukan lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol atau menghubungkan dengan bagian lain dalam teks berita. Sehingga bagian itu lebih menonjol, dilihat, dan lebih mempengaruhi khalayak. Secara luas pendefinisian masalah ini menyertakan, di dalamnya, konsepsi dan skema interpretasi wartawan. Pesan, secara simbolik menyertakan sikap dan nila. Ia hidup membentuk, dan menginterpresentasikan makna di dalamnya. (Eriyanto, 2002:189)

Model Analisis Framing dari Murray Edelman, Entman, William A. Gamson & Andre Modigliani, dan Pan & Kosicki.

Model Analisis Framing
Analisis framing digunakan untuk menganalisa bagaimana media massa mengemas peristiwa, media massa “merekontruksi ulang” realita, peristiwa, suasana, keadaan, tentang orang, benda, bahkan pendapat-pendapat berkaitan dengan peristiwa tersebut. Redaksional media massa; wartawan, editor, redaktur, redaktur pelaksana, pimpinan redaksi yang mencari, meliput peristiwa, penulisan ulang-pengabungan-pengabungan sebagai proses editing, dan menyeleksi berita-berita mana yang layak dimuat dalam surat kabar. Kriteria berita berisi 5W + 1 H (apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana), baik untuk laporan/berita langsung (hard news)maupun soft news atau feature.
Berita tidak saja berisi informasi tentang sesuatu hal, tetapi informasi tersebut harus menarik dan penting, atau memiliki nilai berita (news valeu).Misalnya: “ada pekerja yang mati mengenaskan” itu adalah “informasi”, tetapi bila pekerja tersebut mati karena ledakan pipa gas di aareal lumpur panas Lapindo, itu baru informasi yang menarik perhatian dan dianggap penting-layak untuk diketahui. Sesuatu yang menarik biasanya sesuatu yang tidak lazim, tidak biasa, aneh, berbeda, dframatis, tidak pernah-atau jarang terjadi, yang tidak diharapkan, tidak seperti yang seharusnya, yang diperkirakan menyebabkan hal yang lebih baik atau lebih buruk dsb. Sesuatu yang  pentingbiasanya apabila melibatkan orang banyak, kepentingan orang banyak, banyak orang yang merasakan, dsb.
Siregar (1999) dalam Bharata (2004:171) mengemukakan bahwa : Redaksional media akan berusaha subyektifitas tentang yang apa yang menarik dan penting menurutnya akan menarik dan penting menurut pembaca. Nilai berita ini apabila dijabarkan lebih lanjut adalah significane (penting), timliness (waktu; pen :news is new), magnitude (besar,pen:serius), proximity (kedekatan), prominence (ketenaran) dan human interest.
Apakah berita itu obyektif. Pendapat Everette E Denis dari kubu positifis mengemukakan bahwa obyektifitas berita dapat diukur dengan memisahkan antara fakta dan opini, menghindari pandangan emosiaonal dalam melihat peristiwa, memperhatikan prinsip keseimbangan dan keadilan, dan melihat pristiwa dari dua sisi (cover both side). Sedangkan John C Merril obyektifitas dalam jurnalistik merupakan hal yang tidak mungkin. Proses kerja jurnalistik mulai dari pencarian berita, peliputan, editing, kemudian  juga seleksi berita merupakan kerja yang subyektif, disarikan dari Bharata (2004:169).
Entman dalam Bharata (2004:181) mengemukakan : ide perihal framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson pada tahun 1995. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasikan realitas. Framing pada dasarnya merupakan pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berfikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan
Dimensi framing dimulai dengan pemilihan berita dan memberikan penekanan atau penonjolan aspek atau isu tertentu dalam berita. Hal tersebut dilakukan dengan penempatan berita di halaman utama, penulisan kata atau kalimat tertentu pada gambar pendukung, pemakaian grafis yang kontras sehingga memiliki peluang untuk diingat dalam peta mental pembaca. Selanjutnya framing berkaitan dengan pengunaan kata, kalimat dalam berita, simbol, konsepsi, ide, pengambaran dsb, sehingga frame berita dapat dilihat  dari makna dibalik kata, kalimat, simbol, ide dsb yang memberikan gambaran tertentu dan makna tertentu dari teks media tersebut.
Suatu realitas yang sama yang dikemas oleh wartawan yang berbeda akan menghasilkan berita yang berbeda, karena perbedaan sudut pandang dan penekanan dari  aspek-aspek yang berbeda. Dengan demikian ada realitas yang sebenarnyadan realitas-realitas  yang merupakan bentukan media  yang nota bene merupakan kontruksi-pemaknaan pemahaman wartawan beserta dewan redaksional atas realitas yang sebenarnya.

Model Analisis Framing
Setelah memahami prinsip dasar dari framing sekarang mari kita melihat model-model framing yang umum digunakan. Model analisis framing antara lain dari Murray Edelman, Entman, William A. Gamson & Andre Modigliani, serta Pan & Kosicki.
1.    Murray Edelman, apa yang diketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung bagaimana membingkai dan mengkonstruksi realitas, realitas yang sama bisa jadi akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai atau dikonstruksi dengan cara yang berbeda. Murray Edelman mensejajarkan framing sebagai “kategorisasi” yaitu pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami (Eriyanto, 2007).
Kategori merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran sehingga manusia dapat memahami realitas yang dapat mempengaruhi pikiran dan kesadaran publik, sama seperti propaganda.
Salah satu gagasan utama Murray Edelman adalah dapat mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian mereka akan suatu isu. Dalam praktik pemberitaan media misalnya, kategorisasi atas suatu peristiwa umumnya ditindaklanjuti dengan mengarahkan pada kategori yang dimaksud. Kategorisasi ini memiliki aspek penting yaitu rubrikasi. Klasifikasi yang dilakukan akan mempengaruhi emosi khalayak ketika memandang atau melihat suatu peristiwa.
2.  Robert N. Entman, melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu sebagai berikut :
a.  Seleksi isu, Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu akan dipilih satu aspek yang diseleksi untuk ditampilkan. Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang dimasukkan, tetapi ada juga yang dikeluarkan. Tidak semua aspek atau bagian berita ditampilkan.
b.  Penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu, Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, kemudian memikirkan bagaimana aspek itu diceritakan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan pemilihat kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk dapat ditampilkan pada khalayak.
Entman mengatakan framing dilakukan dalam empat tahap, yaitu: pertama, pendefinisian masalah/define problem tentang bagaimana melihat suatu isu/peristiwa dan sebagai masalah apa isu/perisiwa itu dilihat, kedua, memperkirakan masalah atau sumber masalah/diagnose cause tentang peristiwa itu dilihat sebagai apa serta siapa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah. Ketiga membuat keputusan moral/make moral judgement tentang nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah dan nilai moral apa yang dipakai untuk menyatakan suatu tindakan, keempat, menekankan penyelesaian/treatment recommendation tentang penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu dan jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah.
3.    William A. Gamson & Andre Modigliani, menyebutkan dalam framing, cara pandang terbentuk dalam kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan (Sobur, 2006). Kemasan itu semacam skema dan struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan yang ia terima, cara pandang atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedimikian rupa, dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Eriyanto, 2007).
4.    Pan & Kosicki, dalam tulisan mereka Framing Analysis: An Approach to News Discourse, Pan & Kosicki mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing, yaitu: sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Keempat dimensi struktural tersebut membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai  frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks beritankutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu kedalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.
1. Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa-ke dalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian struktur sintaksis dapat diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip dan sebagainya).
2.    Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita. Struktur ini melihat gaya bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa.
3. Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannyaatas peristiwa kedalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil.

4.    Sruktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar yang digunakan untuk memberi penekanan pada arti tertentu.

Hierarchy of Influence

Teori Hierarchy of Influence
Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese memaparkan hal yang mereka sebut sebagai Hierarcy Of Influence. Teori ini berbicara mengenai apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi isi media massa. Menurut mereka, ada lima tingkatan pengaruh yang dapat mempengaruhi isi berita. Kelima tingkatan tersebut ialah individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi.
Setiap harinya, banyak peristiwa yang terjadi, namun tidak semua peristiwa itu diberitakan oleh media massa. Terkait hal tersebut, individu seorang jurnalis berperan penting untuk menentukan peristiwa mana yang akan dijadikan berita dan mana yang tidak. Wartawan berkuasa untuk menentukan hal mana yang ditonjolkan dan mana yang disamarkan, kelompok mana yang dimunculkan dan mana yang ditenggelamkan. mempengaruhi isi berita. Kelima tingkatan tersebut ialah individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi.
Setiap harinya, banyak peristiwa yang terjadi, namun tidak semua peristiwa itu diberitakan oleh media massa. Terkait hal tersebut, individu seorang jurnalis berperan penting untuk menentukan peristiwa mana yang akan dijadikan berita dan mana yang tidak. Wartawan berkuasa untuk menentukan hal mana yang ditonjolkan dan mana yang disamarkan, kelompok mana yang dimunculkan dan mana yang ditenggelamkan.
Menurut Shoemaker dan Reese, ada berbagai faktor individu (individual level) yang mungkin mempengaruhi isi media, di antaranya latar belakang personal, pengalaman, nilai yang dianut, keyakinan, dan latar belakang pendidikan. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada bagaimana sebuah berita ditulis. Selain itu, afiliasi politik juga cukup berpengaruh terhadap proses produksi berita.
Tingkatan kedua dan ketiga adalah rutinitas media (media routines level) dan organisasi (organizational level). Rutinitas media dan organisasi ini merujuk pada aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi media tersebut. Standart Operating Procedure (SOP) atau prosedur operasional standar dalam sebuah media akan mempengaruhi apakah suatu informasi dapat ditulis menjadi sebuah berita atau tidak. Tingkatan selanjutnya adalah kekuasaan di luar media (extra media level). Media tidak berada di dunia asing. Media adalah bagian dari totalitas sebuah sistem. Sistem politik dan media akan mempengaruhi bagaimana media menentukan peristiwa dan bagaimana peristiwa tersebut dihadirkan.

Faktor-faktor ekstra yang mengaruhi isi media menurut Shoemaker dan Reese di antaranya adalah kelompok kepentingan khusus, kampanye public relations, organisasi media itu sendiri, sumber-sumber pendapatan seperti iklan dan khalayak, institusi sosial lain, lingkungan ekonomi, dan teknologi, serta hubungan wartawan dengan narasumber. Yang terakhir adalah tingkatan ideologi (ideological level). Sebagai sebuah perspektif, ideologi akan mempengaruhi bagaimana sebuah peristiwa dilihat dan kemudian direpresentasikan dalam media. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa sebuah peristiwa dimaknai dan direpresentasikan secara berbeda oleh masing-masing media. Ini karena pengaruh ideologi yang dianut masing-masing media.

Media dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis

Media dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis
            Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke khalayak. Media di sini dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkontruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas.
Berita  bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Apa yang tersaju dalam berita dan kita baca tiap hari, adalah produk dari pembentuk realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.
Positivis
Media sebagai saluran pesan
Konstruksionis
Media sebagai agen konstruksi pesan

            Media memilih, realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanya konstruksi dari realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita ibarat sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. (Eriyanto:25).
            Berita pada dasarnya hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak.
Analisis bingkai media tidak lepas dari paradigma kontruktivis dimana menurut Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (Eriyanto, 2002:255-266) perangkatnya menggunakan teknik analisis struktur besar, yaitu:
1.  Struktur sintaksis, berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk umum berita. Unit analisis sintaksis adalah headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, dan penutup.
2.  Struktur skrip, berhubungan dengan carawartawan mengisahkan peristiwa ke dalam bentuk berita. Struktur ini melihatbagaimana strategi cara bercerita wartawan dalam mengemas berita melalui 5W+1H.
3.  Struktur tematik, berhubungan dengan bagaimana mengungkapkan pandangannya atas peristiwa dalam paragraf, proposisi, kalimat, dan hubungan antar kalimat, bagaimana pemahaman diwujudkan dalam bentuk yang lebih detil atau kecil.
4.  Struktur retoris, berhubungan dengan upaya wartawan menekankan arti tertentu lewat leksikon, grafis, dan metafora berita. Unsur ini bukan hanya mendukung tulisan tapi juga menekankan arti tertentu pada khalayak.
Dalam pandangan konstruksionis media dilihat bukanlah sekedar saluran yang bebas. Media juga mengkonstruksi realita, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihaknya. Media bukan hanya memiliki peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa lewat bahasa. Lewat pemberitaan pula media dapat membingkai dengan bingkaian tertentu dan pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu (Eriyanto, 2004:24) Peristiwa-peritiwa yang dijadikan berita oleh media massa tertentu melalui proses penyeleksi terlebih dahulu. Hanya peristiwa yang memenuhi kriteria kelayakan informasi yang akan diangkut oleh media massa kemudian ditampilkan kepada khalayak.

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahasa sebagai perangkat. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai alat realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan. Penggunaan bahasa dalam pemilihan kata dan cra penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahasa bukan cuman mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Bahasa merupakan instrumen pokok untuk mencerminkan realitas, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adala alat konseptual dan alat narasi media. (Sobur, 2001:88)

Konstruksionisme Sosial

Konstruksionisme
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Penulis menggunakan asumsi-asumsi epistemologis, ontologis, dan aksiologis yang sejalan dengan paradigma konstruktivisme. Ontologis merujuk pada hakikat apa yang dikaji, tentang hal ada (existence), epistemologis pada cara mendapatkan pengetahuan yang benar (how you know), sedangkan aksiologis mengacu pada nilai kegunaan (what for). Bagi paradigma konstruktivisme, ketiga asumsinya sangat berbeda dengan asumsi-asumsi pada paradigma positivisme. (Lincoln and Denzin, 1994:118-137).Analisis framing, sebagai teknik analisis dalam penelitian ini, termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.
Menurut aliran konstruksionisme sosial, lembaga sosial memiliki kekuatan besar terhadap kebudayaan yang disebarkan oleh lembaga-lembaga tersebut sebagai realitas yang melampaui kontrol yang kita miliki. Teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial, struktur sosial yang eksislah yang penting. Manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada di masyarakat. Institusionalisasi, norma, struktur dan lembaga sosial menentukan individu manusia. Sebaliknya adalah teori difinisi sosial, manusialah yang membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai entitas yang otonom, melakukan pemaknaan dam membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara keduanya. Seperti dikatakan Margaret M. Poloma: “Pemikiran Berger melihat realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif).
Konstruktivisme, merupakan suatu doktrin di mana persepsi, ingatan, dan struktur mental kompleks lainnya disusun secara aktif oleh pikiran (Colman, 2001, Dictionary of Psychology). Jadi persepsi, ingatan, dan struktur mental kompleks tersebut dikonstruksi secara aktif, bukan realitas obyektif yang tersedia di hadapan kita sehingga kita memperolehnya secaraalami begitu saja. Gagasan mengenai konstruktivisme pertama dimunculkan psikolog Inggris Sir Frederic Charles Bartlett tahun 1932 untuk menjelaskan fenomena temuannya tentang ingatan manusia. Kemudian berkembang di tangan psikolog seperti Richard Ulrich (konstruksi terkait persepsi), Richard Gregory (konstruksi pikiran sebagai penyebab ilusi visual), dan Jean Piaget (konstruksi mental dalam diri anak-anak) (Colman, 2001).
Konstruktivisme sosial sendiri, pertama kali dipopulerkan Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann melalui buku The Social Construction of Reality, terbit tahun 1966. Inti gagasan konstruksi sosial realitas Berger dan Luckmann adalah, realitas dikonstruksi secara sosial. Realitas di sini diwujudkan antara lain sebagai kejadian hidup sehari-hari. Menggambarkan kenyataan hidup sehari-hari, Berger menulis:
“Kenyataan hidup sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan. Ia tidak memerlukan verifikasi tambahan selain kenyataannya yang sederhana. Ia memang sudah ada di sana, sebagai faktisitas yang memaksa dan sudah jelas-dengan-sendirinya. Meskipun saya dapat menyangsikan kenyataannya, saya merasa wajib untuk menangguhkan kesangsian seperti itu selama saya bereksistensi secara rutin dalam kehidupan sehari-hari. Penangguhan  kesangsian itu begitu kuat sehingga untuk mencabutnya, saya harus melakukan suatu peralihan yang sangat besar.” (Berger dan Luckmann, 1990:34)
Realitas sosial adalah hasil konstruksi, dimana mengutip kalimat Berger dalam bukunya Invitation to Sociology (1963 dalam Brigham, 1998), “Social reality turns out to have many layers of meaning. The discovery of each new layer changes the perception of a whole.” (Realitas sosial terbukti memiliki beragam lapis makna. Penemuan tiap lapis baru mengubah persepsi keseluruhan).  Realitas sosial terdiri dari berlapis pemaknaan yang dikonstruksi oleh masyarakat, dan lapisan-lapisan itu membentuk kehidupan sehari-hari yang familier dan terkesan normal. Normalitas inilah yang ingin dibongkar penganut konstruktivisme. Mengutip N. Goodman, dunia sehari-hari dikonstruksi individu melalui beragam pengetahuan yang dimilikinya (Goodman, 1978 dalam Flick, 1998).
Berita, dalam pandangan konstruktivis, bukanlah realitas obyektif yang semata hadir di luar sana, yang disajikan oleh organisasi media sebagaimana adanya. Berita bukan sekedar serangkaian tulisan yang disusun rapi dalam halaman suratkabar, yang bisa kita nikmati setiap pagi sambil minum kopi dan sarapan. Berita bukan sekedar serangkaian peristiwa di luar sana, yang disampaikan reporter berita di layar kaca, yang kita dengarkan sambil menyiapkan makan malam atau menemani kita membersihkan rumah. Kehadiran berita melalui medium, seringkali telah begitu biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menerimanya begitu saja, taken for granted. Seiring dengan kalimat Schutz yang menyatakan tidak ada fakta yang murni dan sederhana, demikianpula tidak ada berita, yang murni dan sederhana.

Teks berita, menurut paradigma konstruktivis adalah hasil konstruksi realitas. Realitas hadir, tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu wartawan. Berita, menurut pandangan konstruktivisme adalah produk interaksi wartawan dengan fakta (Eriyanto, 2002). Berita juga hasil produksi organisasi. Realitas yang melanda wartawan diserap untuk kemudian dieksternalisasi sebagai produk pemaknaan. Oleh sebab itu, penganut konstruktivisme berpendapat, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Realitas bukan sesuatu yang ada di luar dan tinggal diambil. Realitas tercipta lewat konstruksi dan sudut pandang tertentu wartawan.

Media Online

Media Online
Media online adalah bagian dari media massa, menurut Syarifudin Yunus (2010: 27) media online yaitu media internet, seperti website, blog, dan lainnya yang terbit atau tayang di dunia maya, dapat dibaca dan dilihat di internet. Media online, media yang terbit di internet dengan bentuk yang sederhana dan tidak terbatas pada ruang dan waktu, sehingga masyarakat dapat mengaksesnya kapan saja dan dimana saja sejauh ada jaringan yang menghubungkan orang tersebut dengan internet.
Media online yaitu media yang terbit di dunia maya dengan bentuk yang sederhana dan tidak terbatas pada ruang dan waktu, sehingga masyarakat dapat mengaksesnya kapan saja dan dimana saja sejauh ada jaringan yang menghubungkan orang tersebut dengan internet. Bersifat real time, actual dan dapat diakses oleh siapa pun.
Media online merupakan salah satu jenis media massa yang popular dan bersifat khas. Kekhasan media online terletak pada keharusan memiliki jaringan teknologi informasi dan menggunakan perangkat komputer, di samping pengetahuan tentang program komputer untuk mengakses informasi atau berita. Keunggulan media online adalah informasi/berita bersifat up to date, real time,dan praktis (Yunus, 2010:32) :
1.      Up to date, media online dapat melakukan upgrade (pembaharuan) suatu informasi atau berita dari waktu ke waktu dan dimana saja, tidak melulu menggunakan bantuan komputer, tetapi fasilitas teknologi pada handphone (telepon genggam) atau lebih spesifik dengan katasmart phone (telpon genggam yang telah memiliki fasilitas teknologi internet). Hal ini terjadi karena media online memiliki proses penyajian informasi/berita yang lebih mudah dan sederhana.
2.      Real time, cara penyajian berita yang sederhana tersebut menjadikan media online dapat langsung menyajikan informasi dan berita saat peristiwa berlangsung hal ini yang dimaksud dengan real time.Wartawan media online dapat mengirimkan informasi langsung ke meja redaksi dari lokasi peristiwa dengan bantuan telepon atau fasilitas internet seperti E-Mail dan lainnya.
3.      Praktis, media online terbilang praktis karena kemudahan untuk mendapatkan berita dan informasinya, kapan saja bila diinginkan media online dapat dibuka dan dibaca sejauh didukung oleh fasilitas teknologi internet. Handphone yang memiliki fasilitas koneksi internet, komputer yang memiliki sambungan internet baik di perkantoran atau di rumah, dan dapat pula di warung internet (Yunus, 2010:32-33).
            Tidak hanya up to date, real time, dan praktis saja, keunggulan lain yaitu meliputi multimedia, interaktif, dan hyperlink. Menyertakan unsur-unsur multimedia adalah keunggulan lain media online, yang membuat media ini mampu menyajikan bentuk dan isi publikasi yang lebih kaya ketimbang media tradisional. keunggulan ini, terutama sekali, berlangsung pada media online yang berjalan di atas web.
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Septiawan Santana dalam bukunya yang berjudul Jurnalisme Kontemporer (2005:136-137) yaitu:
“Model situs berita secara general yang kebanyakan digunakan oleh media berita tradisional sekedar merupakan edisi online dari media induknya. Isi orisinilnya diciptakan kembali oleh internet dengan cara mengintensifkan isi dengan kapabilitas-kapabilitas teknis dari cyberpace. Sejumlah fitur interaktif dan fungsi-fungsi multimedia ditambahkan. Isinya di update lebih sering daripada medium induknya.”

Semakin jelas bahwa media online dikenal oleh masyarakat bukan hanya karena kebaruannya saja tetapi dari segi berita yang ditampilkan mempunyai gaya tersendiri dan tidak bisa dilakukan oleh media terdahulu (cetak). Keterbatasan media lama menjadikan keterhalangan dalam proses penerbitan yang terbatas pada ruang dan waktu. Konsep jurnalisme online yang paling popular adalah sifatnya yang real time di implementasikan ke dalam running news . Berita, kisah-kisah, peristiwa-peristiwa, bisa langsung dipublikasikan pada saat kejadian sedang berlangsung

Minggu, 20 Januari 2013

Stockholder Relations



Stockholder Relations (Hubungan dengan para pemegang saham)
Kegiatan PR dalam rangka memelihara hubungan dengan para pemegang saham. Ini sangat penting sebab besar kecilnya modal menentukkan besar kecilnya perusahaan, sehingga hubungan dengan stockholder ini tidak boleh dikesampingkan oleh pihak perusahaan. Usaha membina hubungan dengan stockholder tidak lain adalah untuk tujuan memajukan perusahaan. Komunikasi dengan mereka dapat dilakukan misalnya dengan cara :
1. Menyatakan selamat kepada pemagang saham yang baru.
Komunikasi seperti ini akan menimbulkan kesan baik, di mana para pemegang sahammerasa dihargai dan dihormati dan mereka akan menganggap perusahaan kita adalah perusahaan yang bonafid.
2.Memberikan laporan.
Laporan mengenai perkembangan perusahaan adalah merupakan kegiatan komunikasi yang berfungsi sebagai kegiatan yang harmonis, di mana ini juga menanamkan kepercayaan pemegang saham kepada perusahaan.
3. Mengirimkan majalah organisasi
Majalah organisasi merupakan medium yang baik untuk membina hubungan baik/harmonis dengan para pemegang saham, selain majalah intern juga tidak ada salahnya mereka dikirim majalah intern, sehingga mereka mengetahui atau dapat mengikuti perkembangan perusahaannya beserta segala kegiatannya.
4. Mengadakan pertemuan
Pertemuan secara face to face adalah bentuk komunikasi yang lain untuk membina hubungan yang harmonis, meningkatkan pengertian bersama, dan meningkatkan kepercayaan. Ini dapat dilakukan dengan cara menyelenggarakan pertemuan antara pimpinan organisasi dengan para pemegang saham sehingga akan menambah eratnya hubungan, dapat juga diadakan pertemuan lengkap dengan seluruh karyawan, misalnya acara halal bihalal, peringatan ulang tahun perusahaan pertemuan yang membicarakan masalah pembagian keuntungan, penjualan saham baru. Dsb.

Perangkat dan Framing Entman

Framing Entnam             Menurut Entnam, meskipun analisis framing dipakai dalam berbagai bidang studi yang beragam, satu faktor yang m...