A. Struktur dan Bentuk Evaluasi Humas
Evaluasi humas dengan
keberhasilannya bukan sekedar menilai mekanisme kegiatan kerja humas (tahapan
penelitian perencanaan, penyusunan program, komunikasi dan evaluasi). Tetapi
evaluasi secara manajerial humas dalam rangka proses fungsi manajemen
pengawasan hasil kegiatan melalui standar tertentu. Ada dua macam evaluasi
hasil humas: kualitatif dengan cara observasi dan perbandingan perkem-
bangannya serta kuantitatif menggunakan statistik, perkembangan pada interval
tertentu dan perbandingan naik/turunnya. Di samping itu juga secara manajerial
menilai terlebih dahulu kejelasan tujuan dan sasaran organisasi, sejauh mana
hasilnya untuk dicapai yang pada gilirannya dijadikan standar evaluasi. Frank
Jefkins mengemukakan lebih kurang sembilan tujuan humas yang tentunya berbeda
bagi tiap-tiap organisasi.
Yang penting program evaluasi
humas harus diukur dengan cara menjawab delapan pertanyaan, antara lain apakah
program dirancang, jangka waktu dan siapakah sasaran publik. Metode pengukuran
dan penelitian, dapat meliputi:
·
pengumpulan pendapat dan sikap melalui wawancara sampel responden, segmen
publik (riset pemasaan, pendapat umum),
·
Bentuk standar evaluasinya: cara statistik, umpan balik media,
peningkatan pemahaman, dan riset sendiri.
B. Evaluasi
Umum tentang Keberhasilan Humas
Evaluasi umum diadakan setelah dipahami
struktur dan tujuan manajerial humas, dengan cara meneliti sumber, sasaran dan
metode penelitian dan pengukurannya sendiri. Pangkal tolak evaluasi dapat
menggunakan sumber lingkup definisi humas oleh Frank Jefkins. Ditekankan
pentingnya menggunakan metode manajemen berdasarkan sasaran atau management by
objective (MBO) yang tidak terbatas hanya pada tujuan memperoleh saling
pengertian antara organisasi dan publik, tetapi memahami tujuan-tujuan spesifik
mengenai penanggulangan masalah perubahan sikap (negatif menjadi positif).
Di samping itu adanya motivasi dan
partisipasi atasan dan bawahan sewaktu menyusun tujuan organisasi bersama
meliputi 7 teknik (S.P. Siagian).Keberhasilan humas ditentukan
di tingkat manajemen puncak yang menguasai publik, serta mampu mengidentifikasi
sepuluh bidang khusus kegiatan manajerial. Keberhasilan humas tergantung pada
mutu menanamkan saling pengertian pada publik secara berencana dan
terus-menerus. Sebaiknya mempertahankan standar kualitatif citranya terhadap
organisasi dalam jasa pelayanan produk, kredibilitas, dan perubahan sikap. Di
pihak lain menggunakan metode suatu sistem MBO yang meliputi ketiga macam
komponen dasar: menetapkan sasaran, merencanakan tindakan dan melaksanakan
evaluasi secara berkesinambungan, terutama motivasi staf dan karyawan.
Standar evaluasi ditentukan pula
oleh unsur hubungan komunikator dengan komunikan yang meliputi rumus 7 C dan
komunikasi organisasi oleh komunikator dengan rumus 7 P.
Evaluasi diukur pula dari
kelembangaan profesi humas yang berpedoman pada 10 pokok prinsip dasar humas
(Doug Newson dan Alan Scott), di samping dari segi keberhasilan kemampuan
teknis dan manajemen organisasi oleh humas. Frank Jefkins lalu mengemukakan
lima macam daftar keberhasilan humas untuk mencapai prestasinya.
C. Kode Etik
Humas Internasional,Regional dan Nasional
Kode etik profesi adalah tata cara
dan tata krama yang memberikan aturan atau petunjuk pada para praktisi hubungan
masyarakat dalam melaksanakan tugas. Kode etik akan memberikan batasan-batasan
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi kehumasan dan dapat
memelihara integrasi dari praktis maupun profesi yang diembannya.
Anda sudah memaklumi bahwa setiap
profesi harus dilengkapi dengan perangkat kode etik, misalnya profesi
kedokteran yang sudah dilengkapi dengan perangkat kode etik sejak ilmu
kedokteran dikenal oleh manusia. kode etik dapat saja dirubah, ditambah dan
dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan situasi yang ada. Sebagaimana Anda
maklumi bahwa masyarakat selalu mengalami perubahan dan perkembangan, maka
hubungan masyarakat sebagai suatu profesi dan terkait dengan masyarakat juga
turut mengalami perubahan dan perkembangan.
Setiap ketentuan yang terdapat
dalam kode etik harus dapat mengakomodasi perubahan standar atau nilai yang
terjadi dalam kehidupan ini. Perkembangan ini akan terus mengikuti gejolak
perkembangan di segala bidang dan hal yang membawa pengaruh pada setiap
profesi. Kode etik akan mengatur tata cara antaranggota asosiasi hubungan
masyarakat, dan juga mengatur hubungannya dengan majikan, klien atau khalayak
luas.
Etika sangat penting untuk
mengukur nama baik suatu organisasi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Kepercayaan terhadap etik dan masalah atau situasi etis yang dibentuk oleh
nilai-nilai yang dianut. Demikian dinyatakan oleh pakar PR, Doug Newsom, Alan
Scott dan Judy Vanslyka Turk Slyke Turk dalam buku, This is PR The Realities of
Public Relations.
Selanjutnya ditambahkan agar
praktisi menyadari secara etis mereka memiliki tanggung jawab terhadap klien,
media massa, agen-agen pemerintahan, institusi pendidikan, konsumen informasi,
para pemegang dan analis saham, masyarakat, pesaing dan kritikus, serta
praktisi PR lainnya. Tanggung jawab sosial para praktisi PR mengacu pada
pemberian layanan yang dapat diandalkan, yang tidak mengancam lingkungan, dan
memberikan keuntungan positif bagi masyarakat baik secara sosial, politik
maupun ekonomi. Sedangkan tanggung jawab finansial mengacu kepada kondisi
keuangan perusahaan yang baik dan sehat.
Dalam hal ini kita dapat mengutip
apa yang pernah dikatakan oleh Goran E. Sjoberg, mantan Presiden IPRA, dalam
pidato pada Commonwealth PR Conference di Abuya, Nigeria, bulan September 1990,
yang menyatakan bahwa etika adalah prinsip bertindak, yang didasari oleh
perbedaan tajam antara benar dan salah.
Dikatakan pula bahwa perilaku atau
tindakan (conduct) adalah cara seseorang dipandang dari sudut moral. Kode
adalah seperangkat cara dan moral yang diterima, yang ada pada sekelompok
masyarakat tertentu. Secara ringkas disimpulkan, bahwa:
2.
Perlu adanya satu kode perilaku (Code of Conduct) yang dapat diterapkan
secara regional atau nasional, yang didasari oleh standar dan moral yang
diterima;
3.
Dilarang mengambil keuntungan dari kode etik dengan memanfaatkan situasi
etik, yaitu bertindak etis hanya pada situasi yang tidak merugikan orang yang
bersangkutan;
4.
Seorang praktisi PR harus mengambil tanggung jawab penulisan kode etik
perusahaan atau perilaku karyawan; dan
5.
Seorang praktisi PR harus mempertimbangkan apakah akan berharga jika ia
mengorbankan ketenteraman jiwanya untuk menyenangkan klien atau “boss”-nya,
perusahaan atau orang yang bekerja di perusahaan tersebut berlaku tidak etis.
6.
Di dalam hal ini, Sjoberg melihat
perlunya ada sanksi bagi pelanggan yang dilakukan oleh anggota organisasi.
Dalam hal ini ia menunjuk pada kode etik PRCA yang merevisi kode perilakunya
dengan mencantumkan peraturan mengenai disiplin agar perusahaan anggota dapat
dikeluarkan dari keanggotaan karena alasannya tidak disiplin.
1.
PR harus mendasarkan kerjanya atas fakta bukan fantasi; dan bekerja
berdasarkan program, terutama program jangka panjang;
2.
PR berorientasi pada prinsip pelayanan dan mengutamakan kepentingan umum
dan bukan kepentingan pribadi;
3.
Dalam cara kerjanya, PR pada umumnya berupaya mencari dukungan dari pihak
luar (target audience), agar program jangka panjang maupun jangka pendek dapat
tercapai, maka public interest merupakan unsur yang perlu mendapat perhatian.
Dalam melakukan tugas ini PR harus mempunyai keberanian untuk mengatakan tidak
kepada khalayak-khalayak dan program-program yang tidak masuk akal;
4.
Dalam cara kerjanya sehari-hari, PR tidak terlepas dari penggunaan media,
karena itu harus berteman baik dengan media, maka jalinan media relations harus
kuat;
5.
PR pada dasarnya selalu berfungsi sebagai mediator antara kepentingan
perusahaan dan publiknya, karena itu dituntut mempunyai kemampuan berkomunikasi
yang prima;
6.
PR dalam melakukan komunikasi harus selalu dua arah dan harus bertanggung
jawab sebagai komunikator yang baik, dan dalam hal ini harus mendasarkan cara
kerjanya kepada hasil-hasil penelitian pendapat;
7.
PR dalam batas-batas tertentu diharuskan menjelaskan sesuatu yang menjadi
masalah bagi perusahaan, sebelum masalah itu berkembang menjadi apa yang
disebut dengan krisis PR; dan
8.
PR yang profesional hanya dapat diukur melalui cara kerjanya. Penampilan
yang baik dari PR hanya dapat dicapai apabila PR memiliki sarana yang lengkap
(fisik, sumber daya manusia, anggaran/dana serta informasi yang lengkap)
Maka dari penjelasan ini dapatlah
dikatakan, bahwa kegiatan PR adalah aktivitas informasi berskala besar, yang
menyangkut keterlibatan orang banyak dan menuntut pula tanggung jawab sosial
yang tidak ringan. Sekalipun kegiatan PR merupakan rangkaian tindakan
berdimensi ekonomis, namun harus disadari bahwa keperdulian pokoknya tetap pada
usaha untuk menghasilkan hubungan yang harmonis antara pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan dengan eksistensi suatu lembaga.
Maka untuk membicarakan PR sebagai
suatu lembaga profesi yang tidak bisa terlepas dari perlunya suatu kode etik
bagi profesi ini, maka kita harus mengkaji pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1.
Sejauh mana para praktisi PR memiliki keahlian yang didapatnya, baik
melalui pendidikan maupun pengalaman?
2.
Sejauh mana para praktisi PR bersedia memikul tanggung jawab atas
ketidakpuasan klien atau pihak manajemen terhadap pelayanan yang diberikan?
3.
Sejauh mana para praktisi PR tetap menjungjung tinggi kaidah dan kode
etik profesi dalam melaksanakan kegiatannya?
4.
Sejauh mana para praktisi menyadari perlunya solidaritas dengan rekan
seprofesi, sehingga setiap tindakan tidak akan membawa dampak pada profesi yang
diemban?
5.
Sejauh mana reputasi mereka dipandang baik dan terhormat, baik oleh
pengguna jasa maupun rekan seprofesi?
Maka dalam kaitan pembahasan Kode
Etik Humas, yang perlu memperoleh perhatian adalah peningkatan pengawasan
pelaksanaan kode etik profesi pada kalangan praktisinya.
Sumber : Manajemen Humas. Mahidin
Mahmud dan Alex Rumondor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar