Konstruksionisme
Penelitian ini menggunakan paradigma
konstruktivisme. Penulis menggunakan
asumsi-asumsi epistemologis, ontologis, dan aksiologis yang sejalan dengan
paradigma konstruktivisme. Ontologis merujuk pada hakikat apa yang dikaji,
tentang hal ada (existence), epistemologis pada cara mendapatkan
pengetahuan yang benar (how you know), sedangkan aksiologis mengacu pada
nilai kegunaan (what for). Bagi paradigma konstruktivisme, ketiga
asumsinya sangat berbeda dengan asumsi-asumsi pada paradigma positivisme.
(Lincoln and Denzin, 1994:118-137).Analisis framing, sebagai teknik analisis dalam penelitian ini,
termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.
Menurut aliran konstruksionisme sosial, lembaga
sosial memiliki kekuatan besar terhadap kebudayaan yang disebarkan oleh
lembaga-lembaga tersebut sebagai realitas yang melampaui kontrol yang kita
miliki. Teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta
sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial, struktur sosial yang
eksislah yang penting. Manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan
persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada di masyarakat.
Institusionalisasi, norma, struktur dan lembaga sosial menentukan individu
manusia. Sebaliknya adalah teori difinisi sosial, manusialah yang membentuk
masyarakat. Manusia digambarkan sebagai entitas yang otonom, melakukan
pemaknaan dam membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun
institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara
keduanya. Seperti dikatakan Margaret M. Poloma: “Pemikiran Berger melihat
realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subjektif dan objektif.
Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses
internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif).
Konstruktivisme, merupakan suatu doktrin di mana
persepsi, ingatan, dan struktur mental kompleks lainnya disusun secara aktif
oleh pikiran (Colman, 2001, Dictionary of Psychology). Jadi persepsi, ingatan,
dan struktur mental kompleks tersebut dikonstruksi secara aktif, bukan realitas
obyektif yang tersedia di hadapan kita sehingga kita memperolehnya secaraalami
begitu saja. Gagasan mengenai konstruktivisme pertama dimunculkan psikolog
Inggris Sir Frederic Charles Bartlett tahun 1932 untuk menjelaskan fenomena
temuannya tentang ingatan manusia. Kemudian berkembang di tangan psikolog
seperti Richard Ulrich (konstruksi terkait persepsi), Richard Gregory
(konstruksi pikiran sebagai penyebab ilusi visual), dan Jean Piaget (konstruksi
mental dalam diri anak-anak) (Colman, 2001).
Konstruktivisme sosial sendiri, pertama kali dipopulerkan
Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann melalui buku The Social Construction of Reality, terbit tahun 1966. Inti gagasan
konstruksi sosial realitas Berger dan Luckmann adalah, realitas dikonstruksi
secara sosial. Realitas di sini diwujudkan antara lain sebagai kejadian hidup
sehari-hari. Menggambarkan kenyataan hidup sehari-hari, Berger menulis:
“Kenyataan hidup
sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan. Ia tidak memerlukan
verifikasi tambahan selain kenyataannya yang sederhana. Ia memang sudah ada di
sana, sebagai faktisitas yang memaksa dan sudah jelas-dengan-sendirinya.
Meskipun saya dapat menyangsikan kenyataannya, saya merasa wajib untuk
menangguhkan kesangsian seperti itu selama saya bereksistensi secara rutin
dalam kehidupan sehari-hari. Penangguhan
kesangsian itu begitu kuat sehingga untuk mencabutnya, saya harus
melakukan suatu peralihan yang sangat besar.” (Berger dan Luckmann, 1990:34)
Realitas sosial adalah hasil konstruksi, dimana
mengutip kalimat Berger dalam bukunya Invitation
to Sociology (1963 dalam Brigham, 1998), “Social reality turns out to have many layers of meaning. The discovery
of each new layer changes the perception of a whole.” (Realitas sosial
terbukti memiliki beragam lapis makna. Penemuan tiap lapis baru mengubah
persepsi keseluruhan). Realitas sosial
terdiri dari berlapis pemaknaan yang dikonstruksi oleh masyarakat, dan
lapisan-lapisan itu membentuk kehidupan sehari-hari yang familier dan terkesan
normal. Normalitas inilah yang ingin dibongkar penganut konstruktivisme.
Mengutip N. Goodman, dunia sehari-hari dikonstruksi individu melalui beragam
pengetahuan yang dimilikinya (Goodman, 1978 dalam Flick, 1998).
Berita, dalam pandangan konstruktivis, bukanlah
realitas obyektif yang semata hadir di luar sana, yang disajikan oleh
organisasi media sebagaimana adanya. Berita bukan sekedar serangkaian tulisan
yang disusun rapi dalam halaman suratkabar, yang bisa kita nikmati setiap pagi
sambil minum kopi dan sarapan. Berita bukan sekedar serangkaian peristiwa di
luar sana, yang disampaikan reporter berita di layar kaca, yang kita dengarkan
sambil menyiapkan makan malam atau menemani kita membersihkan rumah. Kehadiran berita
melalui medium, seringkali telah begitu biasa kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga kita menerimanya begitu saja, taken for granted. Seiring dengan kalimat Schutz yang menyatakan
tidak ada fakta yang murni dan sederhana, demikianpula tidak ada berita, yang
murni dan sederhana.
Teks berita, menurut paradigma konstruktivis
adalah hasil konstruksi realitas. Realitas hadir, tercipta lewat konstruksi,
sudut pandang tertentu wartawan. Berita, menurut pandangan konstruktivisme
adalah produk interaksi wartawan dengan fakta (Eriyanto, 2002). Berita juga
hasil produksi organisasi. Realitas yang melanda wartawan diserap untuk
kemudian dieksternalisasi sebagai produk pemaknaan. Oleh sebab itu, penganut
konstruktivisme berpendapat, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi.
Realitas bukan sesuatu yang ada di luar dan tinggal diambil. Realitas tercipta
lewat konstruksi dan sudut pandang tertentu wartawan.
makhluk sosial seperti kita semua ini dalam esensinya, terkadang hidup tidak sesuai dengan harapan kita.lalu berbicara tentang teori kontruktivisme sendiri adalah sebuah gagasan landasan berfikir progresif dan bagaimana memahami pengetahuan di jagat raya ini. terutama di zaman global kini penuh dg spekulasi, sekulerisme agama dan teori konspirasi. yang bisa menjebak seseorang di dalam akademis.
BalasHapus