TEORI KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi
Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak
(Surat Kabar, Majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh
suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah
besar orang yang tersebar dibanyak tempat.
1.
Teori
Pengaruh Tradisi (The
Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal.
Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung
mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an,
berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu
bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan
dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi
khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada
saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak
ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana
media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli
komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat
yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya
mengenai gelombang kebisuan.
2.
Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg
diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa
adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan
riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan
mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan
media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini
sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi
pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media,
bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam
kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya
dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai
bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya
secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di
sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota
khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan
terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan
bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah
satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan
mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan
dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld
yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan
kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387).
Kebanyakan
perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan
mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan
istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat
melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar
beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi
yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan
rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan
kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang
terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai
berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan social
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk
pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.
3.
Teori
Pengharapan Nilai (The
Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media –kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcomsmenyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.
4.
Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan
menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan
khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa
kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara
Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi
tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain
yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin
akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up
date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber
ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem
media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi
khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang
menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk
mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa
metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset
etnografi.
5.
Teori
Komunikasi Relasional
Gregory
Bateson melalui Teori Komunikasi Relasional menyebutkan bahwa komunikasi
sebagai interaksi menciptakan struktur suatu hubungan.9 Komunikasi berfungsi
mengukuhkan, mempertahankan, atau mengubah hubungan-hubungan. Bateson
mengemukan dua proposisi yang mendasari teorinya. Yang pertama adalah pesan
mendua. Setiap komunikasi yang bersifat relasional membawa dua pesan, yakni
pesan “report” dan pesan “command”. Pesan “report” menyangkut substansi atau
isi komunikasi, sedangkan pesan “command” menyangkut pernyataan mengenai
hubungan. Fatwa sesat dan menyesatkan yang dikeluarkan MUI merupakan pesan
“report” kepada Ahmadiyah, sedangkan pernyataan untuk tidak terpengaruh atau
mengikuti ajaran kelompok ini merupakan sebuah “pesan command”.
Proposisi
kedua Bateson adalah hubungan-hubungan yang dicirikan oleh komplementaris atau
simetris. Dalam hubungan komplementer, satu bentuk perilaku diikuti bentuk
anonimnya. Misalnya perilaku dominan dijawab dengan kepatuhan. Sedangkan dalam
hubungan simetri, perilaku seseorang diikuti perilaku sama. Dominan dengan
dominant, patuh dengan patuh, marah dengan marah, dan lain-lain. Sikap
penentangan Ahmadiyah terhadap fatwa sesat MUI menunjukkan perilaku simetris
kelompok tersebut.
6.
Teori Two Step Flow
Teori ini berawal dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld et.al., mengenai efek media
massa dalam suatu kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun
1940. studi tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus respon
bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil penelitian
menunjukan sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah, dan asumsi S-R
tidak cukup menggambarkan realitas khalayak media massa dalam penyebaran arus
informasi dan pembentukan pendapat umum.
Dalam analisisnya terhadap
penelitian tersebut, Lazarsfeld kemudian mengajukan gagasan mengenai
‘komunikasi dua tahap’ (two step flow) dan konsep pemuka pendapat (opinion
leader). Temuan mereka mengenai kegagalan media massa dibandingkan dengan
pengaruh kontak antarpribadi telah membawa gagasan bahwa seringkali informasi
mengalir dari radio dan suratkabar kepada para pemuka pendapat, dan dari mereka
kepada orang-orang lain yang kurang aktif dalam masyarakat.
Teori dan penelitian-penelitian two
step flow memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan social, tetapi
merupakan anggota dari kelompok kelompok
social dalam berinteraksi dengan orang lain.
2. Respon dan
reaksi terhadap pesan dari media tidak akan terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan
dipengaruhi oleh hubungan-hubungan social tersebut.
3. Ada dua proses yang berlangsung;
a. Mengenai penerimaan dan perhatian,
b. Berkaitan dengan respon dalam bentuk persetujuan atau
penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi.
4. Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media,
melainkan memiliki berbagai pesan yang berbeda dalam proses komunikasi, dan
khususnya, dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan
meneruskan/menyebarkan gagasan dari media, dan semata-mata mereka hanya
mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya. Individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat)
ditandai dengan -penggunaan media massa lebih besar, tingkat pergaulan yang
lebih tinggi, aggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap orang-orang lain, dan
memiliki pesan sebagai sumber informasi dan panutan.
Secara umum menurut teori ini media
massa tidak bekerja dalam suatu situasi kevakuman social, tetapi memiliki suatu
akses ke dalam jaringan hubungan social yang sangat kompleks dan bersaing
dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan.
7.
Teori Difusi Inovasi
Salah satu aplikasi komunikasi massa
terpenting adalah berkaitan dengan proses adopsi inovasi. Hal ini relevan
untuk masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju, Karen terdapat
kebutuhan terus menerus dalam perubahan social dan teknologi untuk mengganti
cara-cara lama dengan teknik-teknik baru. Teori ini berkaitan dengan
komunikasi massa karen adalam berbagai situasi di mana efektivitas potensi
perubahan yang berawal dari penelitian ilmiah dan kebijakan publik, harus
diterapkan oleh masyarakat yang pada dasarnya berada di luar jangkauan langsung
pusat-pusat inovasi atau kebijakan publik. Dalam pelaksanaannya, sasaran
dari upaya difusi inovasi umumnya petani dan anggota masyarakat pedesaan.
Praktik awal difusi inovasi dilakukan di AS pada tahun 1930-an dan sekarang
banyak digunakan untuk program-program pembangunan di negara-negara yang sedang
berkembang.
Teori ini pada prinsipnya adalah
komunikasi dua tahap. Jadi di dalamnya juga dikenal pula adanya pemuka
pendapat atau yang disebut juga dengan instilah agen perubahan (agent of
change). Oleh karena itu teori ini sangat menekankan pada sumber-sumber
non media (sumber personal, misalnya tetangga, teman, ahli dsb) mengenai
gagasan-gagasan baru yang dikampanyekan untuk mengubah perilaku melalui
penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivai dan sikap. Everett M.
Rogers dan Floyd G. Shoemaker (1973) merumuskan teori ini dengan memberikan
asumsi bahwa sedikitnya ada empat tahap dalam suatu proses difusi inovasi,
yaitu:
a. Pengetahuan. Kesadaran individu akan adanya inovasi dan adanya pemahaman tertentu
tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.
b. Persuasi. Individu
memiliki/membentuk sikap yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi
tersebut.
c. Keputusan. Individu terlibat dalam aktivitas yan membawa pada
suatu pilihan atau mengadopsi atau menolak inovasi.
d. Konformasi. Individu akan mencari pendapat yang
menguatkan keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari
keputusan sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang diterimanya
berlawanan satu dengan yang lainnya.
Teori ini mencakup sejumlah gagasan
mengenai proses difusi inovasi sebagai berikut:
1.
Teori ini membedadakan tiga tahapan
utama dari keseluruhan proses ke dalam tahapan anteseden, proses dan
konsekuensi.
a. Tahapan anteseden mengacu pada
situasi atau karakteristik dari orang yang terllibat yang memungkinkannya untuk
diterpa informasi tetntang suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya adopsi inovasi biasanya lebih mudah
terjadi pada mereka yang terbuka terhadap perubahan, menghargai kebutuhan akan
informasi dan selalu menari informasi baru.
b. Tahap proses berkaitan dengan proses
mempelajari, perubahan sikap dan keputusan. Disini nilai inovatif yang
dirasakan akan memainkan peran penting, demikian pula dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku dalam sistem sosialnya. Jadi kadangkala peralatan yang
secara teknis dapat bermanfaat, tidak diterima oleh suatu masyarakat hanya
karena alasan moral atau kultural atau dianggap membahayakan struktur hubungan
sosial yang telah ada.
c. Tahapan konsekuensi terutama mengacu
pada keadaan selanjutnya jika terjadi difusi inovasi. Keadaan tersebut
dapat berupa terus menerima dan menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti
menggunakannya lagi.
2.
Perlu dipisahkannya fungsi-fungsi
yang berbeda dari pengetahuan, keputusan, dan konfirmasi, yang terjadinya dalam tahapan proses, meskipun
tahapan tersebut tidak harus selesai sepenuhnya/lengkap. Dalam hal ini,
proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan. Misalnya beberapa
karakteristik yang berhubungan dengan tingkat persuasi. Orang yang tahu
lebih awal tidak harus pemuka pendapat. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa ‘tahu lebih awal’ atau ‘tahu belakangan’ berkaitan dengan tingkat isolasi-isolasi
tertentu. Jadi, kurangnya integrasi sosial seseoranng dapat dihubungkan
dengan ‘kemajuannya’ atau ketertinggalanya delam masyarakat.
3.
Difusi inivasi biasanya melibatkan
sumber komunikasi yang berbeda (media masa, peiklanan, penyuluhan atau kontak-kontak
sosial yang informal), dan efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada
tiap tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi media massa dan
periklanan dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan pengetahuan,
penyuluhan berguna untuk mempersuasi, pengaruh antarpribadi bagi keputusan
untuk menerima atau menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan
inovasi dapat menjadi sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi atau
sebaliknya.
4.
Teori ini melihat adanya
variabel-variabel penerima yang berfungsi pada tahapan pertama (pengetahuan),
karena diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian atau
karakteristik sosial. Meskipun demikian, setidaknya sejumlah variabel
penerima akan berpengaruh pula pada tahap-tahap berikutnya dalam proses difusi
inovasi. Ini terjadi juga dengan variabel-variabel sistem sosial yang
berperan utama pada tahap awal (pengetahuan) dan tahap-tahap berikutnya.
8.
Hypodermic Needle Theory
Audiens (Receiver/R) dalam teori ini dipandang bersikap
pasif dan segala informasi yang diterima, dengan sendirinya juga audiens
terpengaruhi sikapnya. Makanya teori ini disebut teori jaum hipodermik, karena
daya serap audiens yang efektif seperti sedang menerima suntikan. Pada
dasarnya, model ini berpendapat bahwa pesan langsung diterima dan seluruhnya
diterima oleh penerima.
9.
Teori Perbedaan Individu
Setiap
orang memiliki daya selektifitas yang tinngi dalam menerima terpaan media massa
sehingga antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menerima
informasi dari media tersebut. Bukan menonton demo buruh, tergantung kelompok).
10. Teori
Kategori Sosial
Kumpulan,
kelompok, atau kategori-kategori sosial yang ada di masyarakat akan memberikan
tanggapan yang seragam terhadap terpaan media.
tipsnya lengkap dan menyeluruh
BalasHapusTerimakasih..
BalasHapusSaya sedang mencari bahan untuk tugas kuliah..
Sangat membantu